Pages

Selasa, 12 Desember 2017

Semangat Multikultural Dalam Kehidupan Beragama Demi Terciptanya Masyarakat Yang Toleran



Semangat Multikultural Dalam Kehidupan Beragama Demi Terciptanya Masyarakat Yang Toleran
Choirun Nisak (150741605125)
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Malang

Abstrak: Multikulturalisme tampaknya sedang ngetren dan menjadi bahan pembicaraan dimana-dimana terutama oleh kaum intelektual muda. Begitu juga di Indonesia, demam kaum intelektual kampus turut mewarnai berbagai wacana berupa atensi besar serta giat mempelajari ataupun mencari solusi berbagai masalah yang berhubungan dengan paham tersebut. Hampir semua negara di dunia ini termasuk di Indonesia, terdiri dan tersusun dari anekaragam kebudayaan. etnik, bahasa, cara hidup, agama. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah menciptakan ruang yang kondusif bagi pengembangan kebijakan multikultural. Di era komunikasi global ini kita tak boleh mengabaikan media massa. Karena media massa merupakan guru bagi masyarakat. Melalui media massa masyarakat termanipulasi dan terprovok tanpa menyadarinya. Padahal apa yang ditulis ataupun ditayangkannya belum tentu sesuai dengan realitas bahkan bisa hiperrealitas, artinya realitas itu sendiri tidak pernah ada.Kecanggihan teknologi media global saat ini (terutama media virtual) dapat menciptakan citraan-citraan yang tampak lebih indah, menarik, sempurna dibanding dengan aslinya.

Kata Kunci :  Multikulturalisme, intelektual muda, era komunikasi global, hiperrealitas

Pendahuluan
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam, kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau paham. Secara hakiki dalam kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
Indonesia adalah sebuah negara yang terbentuk atas berbagai macam suku daerah yang tersebar di ribuan pulau-pulau yang menjadi wilayah kenegaraan negara Indonesia. Latar belakang ini membentuk Indonesia sedemikian rupa sehingga untuk membicarakan mengenai kultur Indonesia, mau tidak mau kita akan membicarakan eksistensi kultur-kultur daerah yang plural dan berbeda satu sama lainnya. Berbagai macam budaya yang ada di Indonesia ini membawa serta perbedaan nilai-nilai, cara pandang hidup dan ide yang melekat pada masing-masing suku dan budaya yang ada. Adanya perbedaan ini membuat perlu adanya semangat persatuan dalam mewujudkan kehidupan Bangsa yang harmonis.
Pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya" Sehingga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara, menjunjung tinggi sikap saling toleransi antar umat beragama, serta menerima dan menyadari bahwa negara kita merupakan negara multikultural yang besar didunia.
            Akhir-akhir ini kita dibuat gelisah dengan maraknya (kembali) kasus-kasus yang menyangkut kehidupan umat beragama di Indonesia. Indonesia sejak lahirnya memiliki beragam latar belakang: budaya, bahasa, suku, etnis, tradisi, dan agama. Tidaklah berlebihan jika para founding fathers kita memutuskan untuk menjadikan Pancasila sebagai falsafah dan dasar negara. Pancasila bukanlah sekedar ideologi negara yang wajib dihafal oleh seluruh siswa SD/SMP/SMA bahkan mahasiswa melainkan juga telah menjadi semacam gaya hidup (life style) yang harus merasuk ke dalam jiwa seluruh bangsa Indonesia.
Pancasila adalah Anugerah Tuhan yang tidak terkira bagi bangsa yang berpenduduk keempat terbesar di dunia ini. Tidaklah juga salah ketika para pemimpin negara ini memutuskan untuk tidak menjadikan Indonesia sebagai negara agama tertentu atau sebaliknya negara sekuler. Jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia amat sangat cocok dengan Pancasila. Sebaliknya Pancasila satu-satunya prinsip berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat yang paling tepat bagi negara kita. Sila pertama dengan tegas mengatakan bahwa Indonesia memiliki dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Yang dimaksud dengan Ketuhanan adalah bangsa Indonesia, apapun agama dan kepercayaannya, percaya dan mengimani bahwa Tuhan itu ada dan berdaulat bagi negara ini. Sedangkan Yang Maha Esa berarti umat beragama di Indonesia sama-sama mengakui dan mengimani bahwa ada satu Tuhan yang Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Suci, Maha Benar, dan Maha Kasih yang patut dijunjung tinggi oleh semua umatNya. Dengan demikian, konflik antar umat beragama harus segera diakhiri karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Pancasila. Penistaan terhadap agama apapun tidak dibenarkan di bumi kita yang tercinta ini.
Intoleransi dalam bentuk apapun harus dihapus apalagi dikobarkan oleh ormas-ormas yang memakai agama sebagai alat  menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Toleransi beragama bukan pelajaran/teori dalam buku teks tetapi lebih kepada sikap dan perilaku beragama dan kepercayaan terhadap sesama umat beragama yang lainnya. Bagaimana agar toleransi umat beragama dapat terjalin dengan baik? Harus dimulai dari para pemimpin/tokoh agama yang menjadi panutan umatnya. Pemimpin agama haruslah menjadi teladan dalam sikap, perkataan, dan perbuatan. Tidaklah elok jika seorang pemimpin agama menghina, merendahkan, atau mempertanyakan ajaran/akidah agama yang lain. “Agamamu adalah agamamu, agamaku adalah agamaku” demikian bunyi salah satu ayat kitab suci. Dalam hal ini ada 2 (dua) prinsip yang harus dipegang yaitu:
1.      Prinsip Eksklusif: ajaran/doktrin/akidah tiap agama by nature bersifat eksklusif yaitu tiap agama memiliki ajaran masing-masing yang berbeda dan tidak perlu dipertentangkan atau bahkan dipertanyakan oleh agama yang lain. Diskusi tentang iman kepercayaan hanyalah boleh dilakukan di dalam lingkup umat beragama yang bersangkutan dan hendaknya tetap mengedepankan prinsip saling menghormati dan menghargai.
Contoh: diskusi antar umat Kristen tentang doktrin Kristologi (ajaran tentang Kristus) hanya dilakukan di kalangan umat Nasrani dan tidak melibatkan umat beragama yang lain. Demikian juga diskusi tentang Nabi Muhammad SAW hendaknya hanya dilakukan di kalangan umat Muslim saja.
2.      Prinsip Inklusif: selain berbicara tentang ajaran/doktrin/akidah agama, umat beragama dapat bersatu dan bekerjasama dalam hal-hal diluar konteks ajaran/doktrin/akidah misalnya: bakti sosial kemanusiaan, donor darah, relawan bencana, dll. Prinsip inklusif tidak menjadikan perbedaan agama dan kepercayaan sebagai penghalang sebaliknya agama menjadi pemersatu karena di dalam kemanusiaan kita memiliki persamaan yaitu sama-sama manusia ciptaan Tuhan yang harus saling membantu, menolong dan bekerjasama. Contoh: pada waktu bencana Tsunami terjadi di Aceh, banyak orang yang memberikan bantuannya berupa materil dan non-materil dan mereka terdiri dari latar belakang agama yang berbeda-beda.
Demikian ulasan tentang kehidupan toleransi antar umat beragama di Indonesia, negara yang sangat kita cintai dan banggakan ini. Kiranya Tuhan mengaruniakan kerukunan dan perdamaian bagi negara kita sehingga Indonesia menjadi negara yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang menjunjung tinggi kehidupan toleransi dan demokrasi berdasarkan Pancasila. Apabila hal ini terwujud maka Indonesia akan menjadi contoh bagi dunia bagaimana kehidupan toleransi beragama dapat dijalankan meskipun terdapat berbagai agama dan kepercayaan. Dengan Pancasila, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika hal tersebut bukanlah sebuah hal yang mustahil.
Konsep Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam, dan kultural yang berarti budaya atau kebudayaan serta isme yang berarti aliran atau paham. Pada kata tersebut terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaan yang masing – masing unik. Multikulturalisme adalah paradigma yang menganggap adanya kesetaraan antar ekspresi budaya yang plural, selain itu multikulturalisme adalah sebuah filosofi yang terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.
Menurut Parsudi Suparlan (2002) akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Menurut Prof Dr. Bakdi Soemanto, multikulturalisme adalah pandangan saling menghargai dan menghormati dalam perbedaan dan bukan sekadar toleransi. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan antara kebudayaan satu dengan kebudayaan lain. Penekanan pada keanekaragaman tersebut mencakup bukan hanya kebudayaan – kebudayaan suku bangsa, namun juga mencakup berbagai kebudayaan yang berlaku di Indonesia, baik yang bersifat tradisional maupun yang berasal dari luar. Multikulturalisme mengajarkan kepada kita bagaimana perbedaan yang ada tidak menjadi suatu hal yang dapat menyebabkan perpecahan atau konflik.
Segala sesuatu secara pasti mempunyai nilai positif dan negative. Begitupun dengan keadaan masyarakat yang multikultural. Dari segi positif mempunyai keanekaragaman yang memiliki keunikan tersendiri dari masing- masing masyarakat. Namun ketika dipandang dari segi negative, ternyata banyak hal yang dapat kita jumpai dari adanya sistem masyarakat multikultural. Beberapa konsekuensi logis yang dapat diambil sebagai contoh : terdapat perbedaan paham, terjadi konflik, adanya pengelompokan masyarakat minoritas dan mayoritas. Adanya banyak perbedaan diharapkan mampu memperkokoh kesatuan, namun dalam kenyataanya malah membuat persetruan yang berujng konflik yang sifatnya bisa antar individu, kelompok, ras dan golongan. Hal ini sangat disayangkan sekali, mengingat bahwa masyarakat multicultural yang terdapat di Indonesia sudah ada sejak dulu. Tapi kenapa konflik belum juga dapat teratasi.
Seiring dengan perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan, semakin dapat terlihat jelas upaya yang dilakukan beberapa pihak yang bertujuan untuk meminimalkan adanya konflik sebagai akibat adanya masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Hal yang dapat ditanamkan salah satunya adalah dengan meningkatkan toleransi/ tenggang rasa.
Semakin tinggi pengetahuan seseorang terhadap suatu disiplin ilmu akan semakin luas padangan dan pemikirannya dalam menanggapi suatu hal. Akan mampu berfikir lebih bijaksana. Dalam mata kuliah ini, kami banyak belajar tentang kasus atau berita- berita yang ada kaitannya dengan agama dan masyarakat multicultural. Mempelajari tentang perbedaan paham dan cara bijaksana menyikapinya, tentang konflik dan cara penyelesaiannya dll. Mata kuliah ini dapat dijadikan sebagai jembatan yang menghubungkan antara pemahaman masyarakat awam dengan masyarakat yang telah mengenyam sedikit banyak tentang ilmu pengetahuan.
Kami mengetahui bagaimana asal mula agama- agama lahir, bagaimana manusia pertama itu ada dan bagaimana keadaan beda agama hari ini dengan dulu. Sudah pasti bahwa kondisi lingkungan sekarang sangat berbeda dengan dulu, hal ini pula yang menyebabkan kemajuan pola pikir dan terkikisnya nilai religious. Karena kenyataan yang ada sekarang, dunia ini serba instant dan gak pake lama. Sangat tidak mungkin pula ketika terdapat pendapat yang menyatakan bahwa, kehidupan agama sekarang harus sesuai dan kembali seperti zaman dahulu agar ummat kembali dapat merasakan nikmatnya menganut dan menjalankan agama masing- masing. Karena memang perputaran roda dunia telah menjadikan realitas yang seperti sekarang ini, yang dapat dilakukan setidaknya sebagai usaha ummat tetap selamat, dalam artian lingkup agama mereka., yakni dengan mnyesuaikan ajaran secara kontekstual asalkan tidak melenceng dari kitab yang telah menjadi pedoman dalam suatu agama.
Peran agama dalam keadaan masyarakat yang majemuk adalah salah satunya sebagai perekat sosial. Sebuah teori yang dikemukakan oleh Emile Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Religious Life (bentuk- bentuk dasar kehidupan keagamaan). Dengan unsur solidaritas agama memiliki fungsi sosial. Agama bukan ilusi, melainkan merupakan fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan mempunyai kepentingan sosial. Karenannya agama sebenarnya tidak berisi kepercayaan terhadap roh- roh atau dewa, akan tetapi lebih pada pemisahan antara yang sacral dan yang profan. Dalam perspektif solidaritas sosial, agama berpEran menjembatani ketegangan, menjaga kelangsungan masyarakat ketika dihadapkan pada tantangan kehidupan. Dalam hal ini agama berperan penting menyatukan anggota masyarakat melalui diskripsi simbolik suci mengenai kedudukan mereka dalam sejarah, kosmos dan tujuan mereka dalam keteraturan segala sesuatu.
Agama juga dapat menghasilkan konflik ketika berada ditengah- tengah kondisi masyarakat yang majemuk. Seperti dalam teori yang diungkapkan oleh Marx. Mengapa agama dan konflik dijadikan dalam satu judul? Karena memang dalam realitas yang ada, agama atau paham keyakinan yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya konflik. Perbedaan keyakinan dan ritual dalam sebuah agama sering menjadi alasan politik, penguasaan ekonomi dan usaha untuk mendominasi etnis tertentu dengan etnis lainnya.
 Konflik sosial keagamaan antara lain dipengaruhi oleh sikap fundamentaisme keagamaan. Hal ini diartikan sebagai keagamaan yang bersifat “ dangkal “, dengan ciri- ciri antara lain : memiliki pandangan yang sempit, pendekatan statis, sikap anti sosial, dan sikap fanatisme yang hanya mengagungkan kebesaran masa lalu.
Hidup di sebuah Negara yang memiliki masyarakat multicultural, sangat rentan terjadi keterasingan karena apa yang diyakini berbeda dengan apa yang ada dalam kenyataan umum. Terasing dalam dunia sosial, ekonomi dan banyak hal. Hal ini pula yang menjadikan adanya pemisahan antara mayor dan minor, dimana kaum minor seantiasa menempati posisi yang tertindas dan terkesampingkan dalam kehidupan.
Menjadi anggota dalam masyarakat majemuk bukan hal yang dapat dikatakan mudah, keyakinan yang kuat menjadi landasan utama untuk tetap bertahan menyikapi perbedaan yang ada. Harus dapat menyesuaikan pemahaman agama yang sifatnya berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, jadi pemahaman tidak boleh stagnan dan terlalu tekstual. Namun ketika agama sudah bersinggungan dengan perkembangan zaman, banyak pemeluk agama yang justru kehilangan nilai religious mereka, kehilangan nikmatnya beribadah.
Hal yang lebih ironis adalah ketika mendengar realita bahwa agama dijadikan sebagai symbol, untuk melakukan suatu kegiatan yang sifatnya umum dan melibatkan 2 orang atau lebih. Agama hanya syarat agar terlihat memiliki kharisma tersendiri dan dapat menarik simpati orang lain. Padahal nilai- nilai dasar dari agama tersebut sering kali diabaikan, menyebabkan agama menjadi sesuatu yang seakan kehilangan jati dirinya sebagai instansi yang memberi dogma. Nilai- nilai sacral pun kian terkikis.
Namun hal yang menggelitik, ketika pengamalan agama dikabarkan hambar dan berkurang dari sisi spiritual, kenapa malah semakin marak dan berkembang berbagai acara yang berbau agama. Baik disiarkan melalui media elektronik maupun disampaikan melalui media massa dan dapat juga disampaikan secara lisan dengan audien 2 atau lebih. Hal ini diharapkan merupakan salah satu usaha untuk mengembalikan spirit keberagamaan seseorang yang mulai luntur seiring perkembangan zaman. Bukan malah dijadikan sebagai alat untuk semakin mengacak- acak tatanan keyakinan yang telah mulai goyah diterpa kehidupan yang mengenakan dan melenakan ini.
Agama yang terkadang dijadikan kedok untuk melancarkan aksi suatu kelompok tau golongan, merupakan hal yang sangat menjengkelkan. Mengapa tidak ? karena perbuatan beberapa oknum dapat mencemarkan nama baik suatu agama dalam pentas panggung masyarakat multikultural ini.
Setelah mengikuti pembelajaran mata kuliah Agama dan Masyarakat Multikultural, menjadikan pemikiran lebih terbuka. Ketika dihadapkan pada kenyataan adanya perbedaan, dapat menanggapi perbedaan dengan cara yang lebih bijaksana. Tidak memandang dengan sebelah mata, mau mengkaji lebih dalam kenapa bisa terjadi perbedaan itu. Menghargai dan merespon positif dengan adanya keberagaman tersebut.
Mengetahui keanekaragaman pemahaman, dan beberapa kasus yang terjadi di Bumi pertiwi khususnya dan kasus internasional umumnya. Dapat memberi diskripsi yang jelas tentang agama islam khususnya, mematahkan pemikiran tentang pengetahuan agama yang sifatnya fundamental. Dan lebih santai melihat agama yang lain, yang tidak sepaham dengan keyakinan kita.

Contoh sikap saling Toleransi Umat Beragama dalam Kehidupan Nyata
Toleransi antarumat beragama antara pemeluk Agama Islam dan Kristen di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah, Serengan, Kota Solo, Jateng. yang tercipta sejak dahulu. "Dua bangunan tersebut berdampingan serta memiliki alamat yang sama, yaitu di Jalan Gatot Subroto Nomor 222, Solo,"
Namun Perbedaan keyakinan tidak menyurutkan semangat pemeluk Kristen dan Islam setempat untuk saling menjaga kerukunan, menghormati dan mengembangkan sikap toleransi. Bangunan Masjid Al Hikmah didirikan pada tahun 1947 sedangkan GKJ Joyodingratan didirikan 10 tahun sebelumnya atau sekitar 1937. namun Toleransi antarumat beragama telah tercipta sejak lama disini. Misalnya saat pelaksanaan Idul Fitri yang jatuh pada Minggu. Pengelola gereja langsung menelepon pengurus masjid untuk menanyakan soal kepastian perayaan Idul Fitri. Kemudian pengurus gereja merubah jadwal ibadah paginya pada Minggu menjadi siang hari, agar tidak mengganggu umat Islam yang sedang menjalankan shalat Idul Fitri.
Contoh lainnya adalah pengurus masjid selalu membolehkan halaman Masjid untuk parkir kendaraan bagi umat kristiani GKJ Joyoningratan saat ibadah Paskah maupun Natal.
Hal tersebut merupakan contoh kecil toleransi antarumat beragama yang hingga saat ini terus dipelihara. Baik pihak gereja maupun Pihak masjid, saling menghargai dan memberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah dengan khusyuk dan lancar bagi masih-masing pemeluknya. seandainya terdapat oknum tertentu yang akan mengusik kerukunan antar umat beragama di tempat tersebut, baik pihak masjid maupaun gereja akan bergabung untuk mencegahnya.
Multikulturalisme Antar Umat Beragama di Indonesia
Menurut Kushendrawati (2012) menjelaskan bahwa paham multikulturalisme tampaknya sedang ngetren dan menjadi bahan pembicaraan dimana-dimana terutama oleh kaum intelektual muda. Begitu juga di Indonesia, demam kaum intelektual kampus turut mewarnai berbagai wacana berupa atensi besar serta giat mempelajari ataupun mencari solusi berbagai masalah yang berhubungan dengan paham tersebut.
            Hampir semua negara di dunia ini termasuk di Indonesia, terdiri dan tersusun dari anekaragam kebudayaan. etnik, bahasa, cara hidup, agama. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah menciptakan ruang yang kondusif bagi pengembangan kebijakan multikultural. Pertanyaannya, model kebijakan multikultural yang seperti apa yang memadai bagi masyarakat Indonesia? Apakah model kebijakan multikultural yang mengedepankan nasionalitas? Namun nasionalitas adalah sosok yang tidak memperhatikan pluralitas agama, etnik, bahasa karena nasionalitasjustru menghendaki kesatuan yang terintegratif. Paham integralistik menurut Soepomo mengedepankan kekeluargaan dimana negara berfungsi sebagai institusi menyatu dan menyejahterakan rakyat. Negara dan individu dipandang sebagai suatu kesatuan. Masalahnya seringkali orang menganggap bahwa multikulturalisme bertentangan dengan agama maupun kepercayaan. Multikulturalisme dianggap merupakan ranah dari budaya bukan agama. Multikulturalisme juga ditafsirkan sebagai paham yang menyesatkan karena ia digunakan oleh kelompok liberal dengan maksud-maksud tertentu yang tentunya merugikan bagi umatIslam (nahimunkar.com). Hikmat Budiman mengungkapkan secara gamblang kondisi dilematis multikulturalisme di Indonesia tersebut. Dalam buku Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar, (2004), yang disunting Kamanto Sunarto dkk., berusaha mengangkat isu baru khususnya tentang hak-hak minoritas yang berhadapan dengan isu mayoritas dalam wacana multikulturalisme di Indonesia. Secara umum buku tersebut memberikan pemahaman mengenai minoritas dan multikulturalisme baik dari segi konsep maupun kebijakan politik kebudayaan di Indonesia. Lebih jauh dan lebih penting adalah isu khusus minoritas tentang agama dan kebudayaan dimana konflik minoritas mayoritas agama seringkali terjadi.
Selain itu, di era komunikasi global ini kita tak boleh mengabaikan media massa. Karena media massa merupakan guru bagi masyarakat. Melalui media massa seperti TV internet, surat kabar dan lain- lainnya, masyarakat termanipulasi dan terprovok tanpa menyadarinya. Padahal apa yang ditulis ataupun ditayangkannya belum tentu sesuai dengan realitas bahkan bisa hiperrealitas, artinya realitasitu sendiri tidak pernah ada.Kecanggihan teknologi media global saat ini (terutama media virtual) dapat menciptakan citraan- citraan yang tampak lebih indah, menarik, sempurna dibanding dengan aslinya. Contoh Perang Teluk, konflik Israel-Palestina yang telah berkecamuk sejak tahun 1948 sampai sekarang. Konflik ini ditangkap dan diinterpretasikan oleh masyarakat di Indonesia menjadi konflik agama. Sampai-sampai banyak massa maupun perorangan yang unjuk rasa solidaritas dengan berdemo di jalan-jalan raya denganmembawa spanduk-spanduk anti Israel ataupun memakai pin-pin dengan tulisan ‘I love Palestina’. Hal-hal semacam itu terutama diJakarta sangat terasa dampaknya yaitu menjadi kurang nyaman dan kurang harmonis hubungan antar umat beragama. Padahal dalam peristiwa apapun termasuk perang tersebut tidak lepas dari peran dominasi bahkan manipulasi media massa yang amat besar. Media massa telah menggiring opini masyarakat melalui tayangan-tayangan, tulisan-tulisan, slogan-slogannya sehingga masyarakat hanya menjadi the silent majoritytanpa dapat memanfaatkan kesempatan merefleksi serta merenungkan kebenaran setiapberita yang masuk ke dalam memori masing- masing sebagai penerima pesan
Multikulturalisme merupakan padangan dunia yang diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang member tekanan terhadapan realitas seperto keagamaan, pluralitas, juga multicultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Masalah agama adalah masalah yang paling sensitive di Indonesia. Berbagai konflik terjadi di Indonesia akibat kekurangpahaman masyarakat tentang bagaimana dapat hidup bersama dalam keperbeaan (terutama dalam keperbedaan agama). Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralis. Namun sifat pluralistic yang ditampilkan bukanlah kemampuan hidup berdampingan dengan kedamaian bersama orang lain melainkan justru kebalikannya yakni konflik. Salah satu cirri khas masyarakat di Indonesia adalah mudahnya dikondisikan serta menerima begitu saja provokasi tanpa penelusuran rasional terlebih dahulu. Memang dalam hal ini terkait maslah political will yang menurut saya (berdasarkan informasi media masa) seringkali selain tak memberi solusi apa-apa  pemerintah terkait bahkan seringkali menambahkan ketidakjelasan dalam mencari solusi.
            Sila pertama Pancasila tertulis Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, Indonesia bukanlah negara agama melainkan negara yang masyarakatnya berketuhanan. Namun di Indonesia kebijakan pemerintah melalui Kementerian Agama hanya mengakui Khomghucu yang diterima secara sah oleh Gus Dur menjabat sebagai Presiden Indonesia. Seperti yang kita ketahui Indonesia adalah negara multikultur, Bhineka Tunggal Ika dari Sabang sampai Merauke terdiri dari beragama suku, agama, ras, dan juga golongan. Keanekaragaman tersebut sebenarnya dapat dipakai untuk ranah kebersamaan sebagai sesama yang saling menghormati dan enghargai keperbedaan. Encourter anatara yang bebeda seharusnya diterima sebagai anugerah Tuhan yang tidak boleh disia-siakan. Berkaitan dengan multikulturalisme budaya, terdapat konsep pluralism agama yang menerima eksistensi masing-masing agama dalam pluralisnya. Pluralism agama menyatakan bahwa sebuah agama bukan merupakan satu-satunya sumber ekslusif bagi kebenarana, karena dalam agama yang berbedapun ditemukan nilai-nilai kebenaran.

Upaya Mewujudkan Kerukunan Antar Umat Beragama
Menciptakan kerukunan umat beragama baik di tingkat daerah, provinsi, maupun pemerintah merupakan kewajiban seluruh warga negara beserta instansi pemerintah lainnya. Mulai dari tanggung jawab mengenai ketentraman, keamanan,  dan ketertiban termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama bahkan menertibkan rumah ibadah. Dalam hal ini untuk menciptakan kerukunan umat beragama dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
a)      Saling tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama
b)      Tidak memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu.
c)      Melaksanakan ibadah sesuai agamanya
d)     Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam agamanya maupun peraturan Negara atau Pemerintah.
e)      Sikap tenggang rasa, menghargai, dan toleransi antar umat beragama merupakan indikasi dari konsep trilogi kerukunan. Seperti dalam pembahasan sebelumnya upaya mewujudkan dan memelihara kerukunan hidup umat beragama, tidak boleh memaksakan seseorang untuk memeluk agama tertentu. Karena hal ini menyangkut hak asasi manusia (HAM) yang telah diberikan kebebasan untuk memilih baik yang berkaitan dengan kepercayaan, maupun diluar konteks yang berkaitan dengan hal itu.
f)       Kerukunan antar umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, apabila masing-masing umat beragama dapat mematuhi aturan-aturan yang diajarkan oleh agamanya masing-masing serta mematuhi peraturan yang telah disahkan Negara atau sebuah instansi pemerintahan. Umat beragama tidak diperkenankan untuk membuat aturan-aturan pribadi atau kelompok, yang berakibat pada timbulnya konflik atau perpecahan diantara umat beragama yang diakibatkan karena adanya kepentingan ataupun misi secara pribadi dan golongan.
g)      Selain itu, agar kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan secara mantap dalam bentuk.
h)      Memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah.
i)        Membangun harmoni sosial dan persatuan nasional, dalam bentuk upaya mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun dalam bingkai teologi dan implementasi dalam menciptakan kebersamaan dan sikap toleransi.
j)        Menciptakan suasana kehidupan beragama yang kondusif, dalam rangka memantapkan pendalaman dan penghayatan agama serta pengamalan agama, yang mendukung bagi pembinaan kerukunan hidup intern umat beragama dan antar umat beragama.
k)      Melakukan eksplorasi secara luas tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dari seluruh keyakinan plural umat manusia, yang fungsinya dijadikan sebagai pedoman bersama dalam melaksanakan prinsip-prinsip berpolitik dan berinteraksi sosial satu sama lainnya dengan memperlihatkan adanya sikap keteladanan.
l)        Melakukan pendalaman nilai-nilai spiritual yang implementatif bagi kemanusiaan yang mengarahkan kepada nilai-nilai ketuhanan, agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan nila-nilai sosial kemasyarakatan maupun sosial keagamaan.
m)    Menempatkan cinta dan kasih dalam kehidupan umat beragama dengan cara menghilangkan rasa saling curiga terhadap pemeluk agama lain, sehingga akan tercipta suasana kerukunan yang manusiawi tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu.
n)      Menyadari bahwa perbedaan adalah suatu realita dalam kehidupan bermasyarakat, oleh sebab itu hendaknya hal ini dijadikan mozaik yang dapat memperindah fenomena kehidupan beragama.
o)      Dalam upaya memantapkan kerukunan itu, hal serius yang harus diperhatikan adalah fungsi pemuka agama, tokoh masyarakat dan pemerintah. Dalam hal ini pemuka agama, tokoh masyarakat adalah figur yang dapat diteladani dan dapat membimbing, sehingga apa yang diperbuat mereka akan dipercayai dan diikuti secara taat. Selain itu mereka sangat berperan dalam membina umat beragama dengan pengetahuan dan wawasannya dalam pengetahuan agama.
p)      Kemudian pemerintah juga berperan dan bertanggung jawab demi terwujud dan terbinanya kerukunan hidup umat beragama. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas umat beragama di Indonesia belum berfungsi seperti seharusnya, yang diajarkan oleh agama masing-masing. Sehingga ada kemungkinan timbul konflik di antara umat beragama. Oleh karena itu dalam hal ini, ”pemerintah sebagai pelayan, mediator atau fasilitator merupakan salah satu elemen yang dapat menentukan kualitas atau persoalan umat beragama tersebut. Pada prinsipnya, umat beragama perlu dibina melalui pelayanan aparat pemerintah yang memiliki peran dan fungsi strategis dalam menentukan kualitas kehidupan umat beragama, melalui kebijakannya.
q)      Untuk menjaga dan meningkatkan kerukunan hidup umat beragama dan keutuhan bangsa, perlu dilakukan upaya-upaya:
r)       Meningkatkan efektifitas fungsi lembaga-lembaga kearifan lokal dan keagamaan masyarakat;
s)       Meningkatkan wawasan keagamaan masyarakat;
t)       Menggalakkan kerjasama sosial kemanusiaan lintas agama, budaya, etnis dan profesi
u)      Memperkaya wawasan dan pengalaman tentang kerukunan melalui program kurikuler di lingkungan lembaga pendidikan.

Kesimpulan
Kerukunan hidup umat beragama yang diharapkan adalah kerukunan antar para pemeluk agama dalam semangat saling mengerti, memahami antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain secara bahasa mengerti artinya memahami, tahu tentang sesuatu hal, dapat diartikan mengerti keadaan orang lain, tahu serta paham mengenai masalah-masalah sosial kemasyarakatan, sehingga dapat merasakan apa yang orang lain rasakan. Dengan semangat saling mengerti, memahami, dan tenggang rasa- maka akan menumbuhkan sikap dan rasa berempati kepada siapa pun yang sedang mengalami kesulitan dan dapat memahami bila berada di posisi orang lain. Sehingga akan terwujud dan terpelihara kerukunan antar umat beragama

Saran
            Agar kerukunan hidup umat beragama dapat terwujud dan senantiasa terpelihara, perlu memperhatikan upaya-upaya yang mendorong terjadinya kerukunan secara mantap dalam bentuk memperkuat dasar-dasar kerukunan internal dan antar umat beragama, serta antar umat beragama dengan pemerintah. Dengan adanya perbedaan kita bisa saling melengkapi dan mensyukuri atas kekayaan kultur yang ada di negara tercinta ini. Meskipun perbedaan itu ada kita harus saling bertoleransi dan tidak saling menjatuhkan satu sama lain baik antar individu, kelompok ataupun dalam ranah politik. Kita memiliki semboyan yang negara lain tidak miliki yakni BHINEKA TUNGGAL IKA, kita patut berbangga dengan itu.



DAFTAR PUSTAKA

Suparlan, 2002. Politik Multikulturalisme, (Online), 
diakses pada 27 september 2017

Kushendrawati, Selu Margaretha. 2012. Multikultural Agama : Analasis Kritis Masalah
Kerukunan Umat Beragama Di Indonesia, (Online), (http://multikulturalui.files.com), diakses pada 1 Oktober 2017



 

(c)2009 Choirun Nisak. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger